Jumat, 13 Mei 2011

Tidak Menyalahgunakan Obat-obatan

Obat, pada hakikatnya adalah racun, apalagi golongan obat keras. Oleh karena itu, obat tidak boleh diminum sembarangan. Sadar atau tidak sadar, orang tua sering melakukan pengobatan sendiri untuk din i sendiri atau untuk sang anak. Jadi, mereka bertindak dan berpikir bagaikan seorang dokter. Kalau pola pikir, analisis, dan tindakan kita sebagai orang tua dalam memberikan obat untuk anak itu tepat, tidak jadi masalah. Namun, kalau tidak tepat, ini yang berabe. Sakit anak bisa tidak sembuh atau malah bertambah parah. Selain tidak boleh memberikan pengobatan sendiri pada anak, orang tua juga wajib mengajarkan anak minum obat secara teratur sesuai dengan anjuran dokter. Tidak boleh seenaknya meminum obat. Tentu saja, untuk kasus-kasus ringan, misalnya anak mengalami luka kecil karena terjatuh orang tua bisa memberikan terapi yang tepat dengan memberinya obat merah atau betadine. Atau, tatkala anak panas/ demam, kita bisa memberikan obat turun panas untuk anak yang kita kenal.

Meskipun begitu, ada patokan sederhana mengenai sakit 'panas' yang biasa diderita anak. Kalau anak sakit panas/ demam, kita bisa berikan obat turun panas yang biasa kita kenal. Yang penting baca aturan pakai sehingga tidak berlebihan dalam memberikannya. Tetapi wajib diperhatikan, kalau selama 2 atau 3 hari panas anak turun naik atau malah tidak turun-turun, maka segeralah bawa ke dokter untuk diperiksa lebih lanjut, termasuk pemeriksaan laboratorium darah karena kemungkinan anak menderita penyakit-penyakit lebih serius pada organ dalam tubuhnya, misalnya gejala tipus, radang amandel, flu berat, atau malah terserang cacar.

Orang tua yang tidak peduli atau nekat mengobati anaknya dengan pola pikir sendiri, bisa mengakibatkan anak masuk ke dalam situasi berbahaya. Misalnya, tetap memberikan obat turun panas, bahkan dengan dosis dua kali lipat ketika panas anaknya tidak turun-turun karena sebenarnya ia terserang tiptts.Yang terjadi adalah panas anak bukannya turun, tetapi malah mengalami kenaikan panas tinggi secara tiba-tiba yang disebut 'breaktrough fever'(biasanya terjadi pada malam hari). Mengapa ini bisa terjadi? Karena obat turun panas hanyalah obat simptomatik, artinya sebagai penghilang gejala, bukan sebagai obat penghilang penyebab. Jadi, kalau penyebab sakit anak adalah tipus (dalam hal ini adalah kuman salmonella hosa), maka obatnya adalah antibiotik seperti chloramphenicol. Kuman yang tidak teratasi sempurna dengan antibiotika terus memproduksi toksin-toksinnya (racun), menumpuk sehingga suatu saat menyebabkan kenaikan panas tinggi secara tiba-tiba.
Kemudian, mengenai minum obat secara teratur dan benar. Katakanlah seorang bernama Lulu, 11 tahun, sakit batuk pilek disertai flu, dokter memberinya obat berikut:
- Amoksisilin 250 mg 10 tablet, 3 x sehari 1 tablet sebagai antibiotika.
- Bodrexin (Asam asetilsalisilat 80 mg, glisina 40 mg) 10 tablet, 3 x sehari 1 tablet sebagai obat flu dan penurun panas.
- OBH (Obat Batuk Hitam) 1 botol, 3 x sehari 1 sendok teh, sebagai pengeluar dahak atau carminativum.
- Vitamin C 250 mg, 1 x sehari 1/2-1 tablet, untuk membantu percepatan penyembuhan dan meningkatkan daya tahan tubuh.

Ajari anak untuk minum obat-obat ini secara teratur dan benar, sesuai dengan anjuran dokter. Sebab, yang sering terjadi adalah (baik orang dewasa atau anak), baru minum obat beberapa kali, lalu sakitnya menjadi jauh berkurang dan badan terasa enak, sehingga mereka lupa untuk meneruskan minum obatnya, terutama antibiotika yang merupakan golongan obat keras. Obat-obatan seperti Bodrexin, OBH atau vit. C, diminum agak tidak teratur (asal tidak ngawur) masih tidak apa-apa, dalam arti tidak membahayakan. Jadi, kalau Lulu berhenti minum obat Bodrexin ketika panas badannya sudah turun, tidak masalah. Lupa minum vit. C-nya dua hari kemudian, juga tidak masalah (karena bagaimana pun daya tahan tubuhnya dibantu dengan makanan sehari-hari yang dimakan). OBH-nya juga agak lupa-lupa meminumnya, masih tidak membahayakan. Akan tetapi, untuk antibiotika, tidal ada pilihan. Obat ini harus diminum teratur dan sampai habis, kecuali jika terjadi alergi. Persoalannya menjadi lain. Obat harus segera dihentikan.

Katakanlah, Lulu baru minum obatnya selama 3 kali dan is merasa badannya menjadi jauh lebih enak dan penyakitnya sangat berkurang. Mulailah Lulu lupa meminum obat antibiotikanya. Atau orang tuanya lupa mengontrol Lulu untuk minum obatnya dengan teratur. Di kemudian hari, Lulu kembali sakit batuk. Orang tuanya yang melihat sisa obat yang lalu (yaitu sisa amoksisilin 500 mg 7 tablet), akan memberikannya untuk mengobati Lulu. Namun, apa yang terjadi? Sembuhkah batuk Lulu dengan obat sisa tadi? Sangat boleh jadi tidak. Paling tidak, batuk tersebut sekarang menjadi sulit sembuh. Tentu, orang tua Lulu akan kembali segera membawanya ke dokter, disertai keterangan, "Dok, itu batuknya nggak sembuh-sembuh, padahal diobati pakai obat dari dokter yang waktu itu lho (sambil menunjukkan bekas bungkus amoksisilin)." Dokternya cenderung memberikan obat antibiotika lain yang lebih baru gencrasinya, lebih luas spektrumnya, serta lebih mahal. Katakanlah golongan makrolidum, diberikan 10 tablet.

Lulu kembali minum obat dengan ceroboh. Baru minum obat tiga kali, badannya terasa enak dan penyakitnya menjadi ringan, ia (dan juga orang tuanya) mulai kelupaan lagi untuk menghabiskan obat antibiotikanya. Beberapa bulan kemudian, Lulu kembali terserang batuk. °rang tua Lulu kembali melakukan hal yang sama, yaitu dengan memberikan 7 tablet antibiotika golongan makrolidum sisa yang tidal( dihabiskan tadi. Apakah batuk Lulu menjadi sembuh? Besar kemungkinannya adalah tidak. Batuk Lulu tidak atau sulit sembuh. Ketika kembali ke dokter dengan mengutarakan hal yang sama seperti sebelumnya, maka dokter bisa memberikan Lulu obat antibitotika yang lebih baru, lebih canggih, dan lebih mahal harganya, katakanlah dari golongan ciprofloxacin, sefalosporin, dan sebagainya.

Apa sebenarnya yang terjadi kalau kita minum obat antibiotika dengan cara itu? Ternyata, minum obat antibiotika yang tidak dihabiskan sempurna mengakibatkan kuman tidak akan terbunuh dengan sempurna pula. Kuman yang tidak mati akan membuat mekanisme resistensi atau kekebalan dengan berbagai cara. Bisa dengan jalan membuat enzim penangkal, atau melalui mekanisme genetik. Akibatnya, kuman mampu mengalahkan obat antibiotika dari jenis sama (yang telah dikenalnya) yang telah diberikan sebelumnya. Kalau pola minum obat ini diteruskan, maka lama-kelamaan, sakit batuk yang diderita Lulu menjadi semakin sulit sembuh karena tidak ada obat lagi yang bisa menyembuhkan. Belum lagi dokter akan cenderung terus memberikan obat antibiotika yang makin lama makin keras daya bunuhnya, makin luas spektrum pengobatannya, makin mahal biayanya, sekaligus juga makin besar efek sampingnya. Maka di kemudian hari, Lulu bisa terancam keracunan obat.

Sakit batuknya Lulu tadi dapat berkelanjutan menjadi batuk kronis bertahun-tahun, bukan sesuatu yang sepele lagi. Kuman dari penyakit batuk tadi bisa bermigrasi ke daerah telinga sehingga menyebabkan tuli konduktif. Kalau menyeberang ke rongga sinus, kuman tadi akan menyebabkan sinusitis, yang bisa menyebabkan Lulu menjadi sentrap sentrap karena pileknya tak kunjung berhenti. Hal ini bisa terjadi karena ada kesatuan pathway di antara telinga — hidung — tenggorokan. Gangguan di salah satu tempat tadi akan dengan mudah berjalan ke tempat yang lain. Tambah masalah kan?

Pustaka
Mencegah & Mengatasi Krisis Anak oleh TA Tatag Utomo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar